Sebuah Refleksi tentang Transformasi Kepemimpinan


KEPEMIMPINAN
seringkali kita reduksi menjadi sekedar jabatan, title, dan kursi empuk di struktur organisasi, sambil lupa bahwa esensi kepemimpinan sebenarnya adalah menjadi pencari solusi.

Kita hidup di era di mana notifikasi smartphone lebih berpengaruh daripada notifikasi hati nurani. Digital distraction bukan lagi sekadar istilah, tapi sudah menjadi realitas yang menggerogoti fokus kita. 

Berapa banyak dari kita yang bisa duduk tenang selama satu jam penuh tanpa mengecek ponsel?

Dalam konteks kepemimpinan, distraksi ini menjelma dalam bentuk program-program instan yang hanya mengejar euforia sesaat. 

Kita sibuk mengadakan acara besar dengan dokumentasi yang mentereng, tapi lupa membangun sistem yang berkelanjutan. 

Kita terjebak dalam instant gratification - kepuasan sesaat yang justru menghambat pertumbuhan substantif.

Tiga Transformasi yang Perlu Kita Jalani

Pertama, Transformasi Mindset

Ini yang paling fundamental. Selama kita masih memandang kepemimpinan sebagai takhta, selama itu pula kita akan gagal memimpin dengan hati. 

Pengalaman saya di berbagai organisasi kemasiswaan mengajarkan satu hal: ketika kita beralih dari "Apa yang bisa saya dapat?" menuju "Bagaimana saya bisa melayani?", segalanya berubah.

Padahal sejatinya organisasi itu tumbuh menjadi komunitas yang solid, bukan karena program-programnya yang wah, atau wacana-wacana pribadi dari seorang ketua semata, tapi karena pemimpinnya yang peduli dan pendukungnya yang sadar diri.

Kedua, Transformasi Skillset

Dulu, menjadi pemimpin berarti pandai berpidato dan mengambil keputusan. Hari ini, kepemimpinan membutuhkan keterampilan yang lebih kompleks.

Kita perlu melek digital, memahami media sosial, mampu berpikir kreatif, sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai manusiawi.

Pengalaman saya mengelola media di berbagai lembaga mengajarkan bahwa konten yang authentic selalu lebih berpengaruh daripada yang sekadar viral. 

Kepemimpinan di era digital bukan tentang seberapa sering kita muncul di timeline, tapi seberapa dalam pesan kita menyentuh hati.

Ketiga, Transformasi Heartset

Inilah jiwa dari kepemimpinan sejati. Pemimpin transformasional tidak hanya memikirkan "apa" dan "bagaimana", tapi lebih mendalam lagi - "mengapa". Mengapa organisasi ini perlu ada? Mengapa kita harus peduli? Mengapa perubahan ini penting?

Saya belajar tentang heartset ini justru dari seorang ibu yang akrab di kalangan mahasiswa STAIL Kampus 2 yang biasa kami sapa dengan nama Bu Tun.

Bu Tun punya warung kecil di jalan Deandles yang tersohor itu. Dengan kesederhanaannya, ia hafal nama semua mahasiswa, tahu makanan favorit masing-masing, dan selalu menanyakan kabar ketika berbelanja di warungnya.

Ini kepemimpinan sejati menurut saya, yang lahir dari ketulusan untuk terhubung dengan orang lain, peduli dan tahu tentang orang lain. Dalam konteks organisasi, pemimpin harus memiliki hal yang sama!

Empat Pilar Menuju Generasi Berdaya

Self-Leadership: Memimpin Diri Sendiri

Bagaimana mungkin kita memimpin orang lain jika diri sendiri masih berantakan? Manajemen waktu, disiplin, dan integritas personal adalah fondasi yang tidak bisa ditawar. 

Kepemimpinan dimulai dari kamar tidur di asarama yang rapi, dari janji pada diri sendiri yang ditepati, dari komitmen kecil yang konsisten dilakukan.

Strategic Thinking: Melihat ke Depan

Pemimpin yang baik tidak hanya bereaksi terhadap masalah, tapi mampu mengantisipasi tantangan masa depan. Ini seperti bermain catur - kita perlu berpikir beberapa langkah ke depan. 

Dalam konteks organisasi kemahasiswaan, ini berarti tidak hanya menjalankan program rutin, tapi menciptakan inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Creative Execution: Dari Ide ke Aksi

Banyak orang punya ide brilian, tapi hanya sedikit yang mampu mewujudkannya. Creative execution adalah kemampuan untuk mengubah mimpi menjadi kenyataan dengan cara-cara yang inovatif. 

Jangan takut mencoba metode baru, jangan ragu belajar dari kegagalan, dan jangan pernah berhenti berkarya.

Meaningful Collaboration: Sinergi yang Bermakna

Kepemimpinan bukanlah pertunjukan solo. Kita membutuhkan orang lain, tidak hanya sebagai pengikut, tapi sebagai mitra sejati. 

Kolaborasi yang bermakna lahir ketika kita mampu melihat potensi dalam setiap orang, menghargai perbedaan, dan membangun visi bersama.

Mulai dari Mana?

Transformasi tidak membutuhkan momen yang dramatis. Ia bisa dimulai dari hal-hal sederhana:

Dalam 30 hari ke depan: Lakukan assessment jujur pada diri sendiri. Area mana yang paling perlu diperbaiki? Mindset, skillset, atau heartset? Mulailah dari satu hal kecil yang bisa diubah.

Dalam 90 hari ke depan: Coba terapkan satu perubahan dalam organisasi. Bisa sistem komunikasi yang lebih efektif, program yang lebih meaningful, atau budaya organisasi yang lebih inklusif.

Dalam setahun ke depan: Evaluasi progress dan scale up keberhasilan. Yang terpenting, pastikan ada sistem yang berjalan sehingga transformasi ini bisa terus berlanjut bahkan setelah kita lengser.

Menjadi Manusia yang Memanusiakan

Pada akhirnya, transformasi kepemimpinan bukan tentang menjadi superman yang serba bisa. Ini tentang menjadi manusia seutuhnya.

Transformasi yang tidak hanya peduli pada pencapaian, tapi juga pada proses. Tidak hanya fokus pada hasil, tapi juga pada hubungan. Ttidak hanya mengejar kesuksesan pribadi, tapi juga pertumbuhan bersama.

Kepemimpinan yang berdaya dan berkarya lahir ketika kita berani jujur pada diri sendiri, rendah hati untuk belajar, dan berani memulai dari hal kecil. 

Mari bersama-sama bertransformasi - dari pencari jabatan menuju pencari solusi, dari generasi yang terdistraksi menuju generasi yang berdaya dan berkarya.

Maka tugas seorang aktivis organisasi  kampus adalah menyalakan obor ditengah kegelapan, bukan sekedar meniru cahaya yang sudah ada, menyalakan obor adalah bentuk dari transformasi dari kepemimpinan.

*) Oleh Refra Eltanimbary, pendiri Nestref dan Presiden BEM STAIL 2018-2019

0 Komentar

Type above and press Enter to search.